Wilujeung Sumping

Wilujeung Sumping ...

Ngahaturkeun segala data mudah-mudahan bisa bermanfaat untuk di baca, di pelajari dan di amalkan.

Senin, 04 Juli 2011

Di Atas Nisan Mukhlis Tersenyum


            Malam yang ditaburi berjuta – juta bintang, sang rembulan yang mengintip di balik benteng awan, sang layang – layang hitam mulai berterbangan mencari mangsa sebagai santapan makan di setiap harinya, tak terlewatkan suara serangga yang menghiasi nuansa malam. Udara dingin yang menembus bagian pori – pori, semilir angin yang melewati helaian rambut yang tipis ini. Aku masih menatap pemandangan yang nyata di atas balkon rumah yang berlantai 2, waktu telah berlalu dengan begitu cepatnya hingga tak kusadari malam semakin pekam, ku lihat jam yang menempel di pergelangan tangan bagian kanan telah menunjukan pada pukul 22.30 WIB.
            “Mukhlis” Panggil seorang wanita yang berumur 45 tahun, wajahnya terpancar pesona kesucian
            “iya Ummi, Mukhlis di atas” Jawabku
            “cepat ke bawah nak, diatas dingin dan waktu sudah malam” Sahut ibuku dengan penuh kasih sayangnya.
Dengan cepat aku pun turun dari atas balkon, namun sebelum ku meninggalkan suasana ini aku berdo’a pada yang maha kuasa agar di esok hari sang malam masih tetap mempesona dan di esok hari sang fajar berbahagia menyinari dunia.
Nurul Fajrianti Asy-syifa ia adalah seorang ibu yang sangat aku cintai, selama 7 tahun ia yang menjadi tulang punggung di keluarga kami, karena ayahku yang telah pergi menghadap Sang Maha Kuasa, ia wafat karena telah memperjuangkan sahabat karibnya yang tenggelam diperairan selat sunda saat melaksanakan tugasnya sebagai nahkoda kapal, begitu hebat perjuangannya jika selalu ku ingat,  ku bangga dengan semangat persaudaraannya ia rela korbankan bagian jiwanya, ku selalu berharap di tempat yang jauh sana ia tetap tersenyum melihat keadaan kami, dan ku selalu meminta agar ia bahagia dengan kehidupan yang kekal disisi yang Maha Sempurna. Sampai umurku menginjak 15 tahun ibulah yang menjadi penyemangat disaat terjatuh, menjadi pelindung disaat ku takut, bahkan ia selalu merelakan perasaannya demi kebahagiaan anak – anaknya. Aku adalah Muhammad Mukhlis Al-ghifari yang memiliki 2 orang adik, mereka bernama Khoerulloh Al-fattah dan Shofia Nurul Aini.
“Allohu Akbar ... Allohu Akbar ...” Kumandang suara adzan menandakan shubuh telah menjelang, segera aku terperanjat dari tempat tidurku, lalu berlari menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, setelah itu kulangkahkan kaki keluar rumah menuju masjid. Selepas sholat tak pernah aku melewatkan seuntai do’a untuk ku panjatkan pada yang Maha Kuasa, tetesan airmata selalu mengiringi saat kalimat – kalimat Illahi dilantunkan oleh mulut yang hina ini. Sekembali dari masjid ku buka pintu, ku ucapkan salam lalu kuhampiri ibu yang berada di dapur dari jam 3 tadi, ia sedang mempersiapkan dagangan dan sarapan untuk kami di hari ini. Ku cium tangan lembutnnya, ku eratkan pelukan di tubuh hangatnya.
“Ummi, apa hari ini ummi bisa mengantarku ke sekolah untuk membawa raport ??” ku bertanya dengan nada pengharapan yang sangat besar.
“Maafkan ummi sayang, ummi tidak bisa, kau tahu kan kalau hari ini ummi harus bekerja demi mendapatkan sesuap nasi untukmu dan adik-adikmu” ia menjawab dengan meneteskan airmata, ia merasa bersalah karena tak bisa meluangkan waktu untuk anak - anaknya. Ibuku hanya seorang pedagang kue yang setiap hari berjualan mengelilingi 3 kampung di salah satu daerah Bandung Selatan, Jawa Barat, diawali dari kampung Kiwari  sampai kampung Sukamukti, bila tak ada modal ibuku hanya bekerja sebagai pembantu yang mencucikan baju para tetangga, dan terkadang ia membantu pekerjaan rumah tangga dari satu rumah ke rumah yang lain di suatu perumahan.
 “Baiklah ummi tidak apa-apa, kakak hanya memohon do’a dari ummi, mudah-mudahan hasil raport kakak lebih bagus dari tahun kemarin.”
“Aamiin, tetap tersenyum wahai anakku” pesannya sambil mencium keningku
Hari Senin, hari yang ditunggu - tunggu banyak orang tua, di hari inilah para santri Pesantren Al-Muhajirin akan menerima raport sebagai prestasi usaha belajar mereka. Seluruh orang tua santri datang berbondong – bondong dengan membawa keluarganya, ada yang turun dari mobil BMW, mobil Avanza yang masih berkilat polesan catnya, adapun yang turun dari mobil mewah lainnya, aku hanya tersenyum saat melihat keadaan teman - temanku. Aku datang ke pesantren hanya dengan menggayuh sebuah sepeda ontel yang sudah tua, kulit jok yang sudah mengelupas, rantainya yang sudah longgar dan kering tak diberi oli. Sepeda inilah yang menjadi tumpuan saat ku mencari ilmu, sepeda yang diberikan oleh ayahku 6 tahun yang lalu ketika aku masih duduk dibangku kelas 4 SD, sedangkan sekarang aku akan menginjak kelas 1 Aliyah¹, dengan sepeda ini aku berjuang melintasi rintangan untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan, sepeda yang dipenuhi dengan rangkaian catatan sejarah. Bila ku bandingkan dengan teman – temanku yang lainnya, sungguh sangat jauh bagaikan jarak hamparan langit dan bumi, namun aku selalu mengingat pesan seorang laki – laki yang berwajah tampan, bertubuh tegap, dan selalu berkata lemah lembut pada istri maupun anak-anaknya, ia adalah ayahku Abdullah Ghifar El-kareem, ia selalu berpesan “Nak, Hidup ini bukanlah untuk mencari kemewahan, jangan sampai kau tergoda oleh mewahnya dunia. Ambil saja sesuai kebutuhanmu, jika kau punya lebih berikan pada yang membutuhkan, karena masih banyak diluar sana yang lebih menderita di banding kita. Maafkan ayah bila tak bisa membahagiakanmu, tetaplah tersenyum sebagai tanda kau menikmati dan mensyukuri karunia Alloh SWT.”
***
“Assalamu’alaikum ...” Seseorang menepuk bagian pundakku, membuyarkan dari segala lamunanku.
“Wa’alaikumsalam ... Ustadz Hamdan ?” aku terperanjat
“Kenapa masih disini nak, Ayo cepat masuk Aula sebentar lagi pembagian raport akan dimulai” suruh seorang Ustadz yang penuh kewibawaan.
“Baik Ustadz” jawabku sambil mencium tangannya.
“Oh ya Mukhlis, kalau sempat setelah dibagi raport datang ke kantor Ustadz ya”
“InsyaAlloh Ustadz” kutenteng sepedaku dan kusimpan di garasi belakang.
Dengan melangkahkan kaki sambil diiringi kalimat Basmalah aku pergi menuju kelas Aula Pesantren Al-Muhajirin, degup jantung yang tak menentu membuat tubuhku seakan lesu, menanti hasil yang akan didapat nanti. Selama 2 tahun kebelakang saat ku duduk di kelas 1 dan 2 Tsanawiyyah², berulang kali aku meraih peringkat pertama. Ku harap di akhir tahun ini, kembali ku raih peringkat pertama dan menjadi juara Umum tingkat Tsanawiyyah. Di depan aula aku berdiri, melihat kejadian yang tak pernah aku mengerti, mengapa hanya mereka yang bisa merasakan seperti ini. Hati ini bagai tersambar kilat, jiwa ini bagai terhunus pedang, tak bisa ku tahan aliran air yang mulai membendung di perbatasan kantung mata, terurailah dengan derasnya airmata yang ku tahan - tahan, ketika ku lihat seluruh santri Pesantren mereka bersanding di pangkuan kedua orang tuanya, hanya aku yang sendiri meratapi nasib hidup ini. Kadang aku terpikir mengapa tuhan tak adil, tapi aku sadari bahwa hidup ini hanyalah teka – teki sang Illahi.
“Mukhlis ... sini nak” panggil Ibu Salamah dia adalah Wakil Kepala Sekolah.
“iya, kenapa bu ?” segera aku menghampirinya yang duduk di belakang meja Asatidz³
 “Kamu duduk di sebelah ibu ya ” pintanya kepadaku
“Tapi bu, saya tidak pantas duduk di kursi yang berada di sebelah ibu, kursi ini kan untuk santri yang juara Umum” aku heran, mengapa ibu Salamah mempersilahkan aku duduk di kursi yang syakral itu.
“Sudahlah duduk saja, nanti kau pun akan tahu siapa juara Umumnya itu” ia menarik tanganku sambil tersenyum, menyimpan sejuta jawaban dari berbagai pertanyaan yang mendera di pikiranku.
Hasil Raport mulai dibagikan, satu – persatu para santri di panggil ke depan panggung untuk membawa raport masing – masing. Ku tunggu giliranku, namun tak kunjung jua namaku disebutkan. Detak jantung sudah tak menentu, tetesan keringat mengalir melintasi wajah yang hampir kusam, sampai tibalah waktunya pengumuman Juara Umum di tingkat Tsanawiyyah.
“Baiklah, Bapak – Bapak dan Ibu – ibu, sekarang saatnya pengumuman untuk Juara Umum” Ucap Ibu Salamah diatas Panggung
“Juara Umum pada tahun ajaran kali ini, peringkat ketiga diraih oleh Salman Ar-razi, peringkat kedua diraih oleh Annisa Fauziyanti, dan Juara Umum kali ini diraih oleh anak didik yang sangat kita cintai ia adalah Muhammad Mukhlis Al-ghifari” Ibu salamah mempersilahkan yang dipanggil untuk menaiki panggung.
Namaku dipanggil sebagai juara umum, betulkah itu ? ataukah hanya sekedar mimpi, tetapi ini benar - benar nyata. Senyuman raut kebahagiaan dari seluruh orang, riuh tepuk tangan yang mengiringi langkah menuju singgasana, kelam yang membelenggu seluruh pikiran kini bersinar oleh pancaran kuasa Tuhan, hati ini bagaikan melayang dibawa terbang oleh angan – angan meraih harapan, senyuman yang selalu ku tanam sekarang telah berbunga menjadi suatu penenang dalam setiap kegundahaan. Ucapan selamat dari seluruh Asatidz, Orang tua santri dan rekan – rekanku dengan jabatan tangan, pelukan pun menjadi hiasan menumpahkan rasa kebahagiaan. Hanya seseorang yang tak memberiku ucapan selamat, beliau adalah kepala sekolah di pesantren ini, benakku mulai bertanya - tanya dimana gerangan kini berada.
“Bu Salamah, apa ibu lihat Ustadz Hamdan ?” Tanyaku
“Ibu kurang tahu nak, tadi Ustadz pesan kalau beliau tidak bisa menghadiri acara ini”
“Apa ibu tahu, kenapa Ustadz tidak datang ?”
“Beliau tidak bisa hadir karena harus persiapan untuk pergi”
“Pergi, kemana Bu?” aku semakin bingung
“Nah, Ibu pun kurang tahu nak”
“Baik bu, Mukhlis cari Ustadz Hamdan dulu, Assalamu’alaikum” setelah mencium tangannya aku pun langsung berlari.
“Wa’alaikum salam, Hati – hati nak” teriaknya dengan nada yang lembut
            Aku teringat ucapan Ustadz Hamdan sebelum aku masuk ke aula, dengan cepat kudatangi kantor kepala sekolah, ku lihat dibalik jendela tampak kosong di dalam ruangannya, hanya ada tumpukan kitab dan buku – buku pelajaran di atas meja beliau, aku semakin bingung, kembali aku pun berlari mencari ke tempat lain. Pos satpam tujuan terakhir pencarianku setelah berkeliling dan bertanya – tanya kesana – kemari, namun tak ku temui seseorang yang sangat berarti, berkat jasa beliau aku bisa sekolah di pesantren ini. Seluruh tanggungan sekolah hampir semua dibiayai olehnya, tak sepersen ibuku mengeluarkan biaya, dari mulai buku, seragam, biaya SPP sampai hal – hal yang menyangkut masalah biaya lainnya.
            “Mukhlis ... kesini, ada titipan untukmu dari Ustadz Hamdan” Panggil Pak Rukman Satpam di Pesantren Al – Muhajirin
“Titipan apa pak ?” ingin cepat – cepat ku lihat apa yang dititipkan Ustadz Hamdan itu
“Ini surat untukmu, kalau sempat kamu disuruh datang ke rumah Ustadz Hamdan beliau ingin bertemu”
Tanpa membuka surat itu, aku segera membawa sepeda ontelku dan melaju secepat mungkin menuju rumah Ustadz Hamdan, yang berjarak ± 10 Km dari arah timur Pesantren. Perumahan Sukamukti Blok M1 no. 13 Rt 03/Rw 15, tepat aku berdiri di depan gerbang yang menutupi sebagian rumahnya, kuucapkan salam dengan desahan nafas yang yang tak beraturan.
“Assalamu’alaikum ... Ustadz Hamdan”
“Wa’alaikumsalam” seseorang keluar dari dalam rumah, lalu berjalan ke arah gerbang untuk membukanya
“Mukhlis” Ucap Ustadz Hamdan
“Ustadz Hamdan” bagaikan kilat yang menyambar dengan cepat langsung ku peluk tubuh seorang lelaki yang penuh jasa itu, ku teteskan airmata di pundaknya, ku rasakan kehangatan pelukan kasih sayangnya, sekian lama tak pernah ku rasakan kembali pelukan hangat itu, pelukan yang selalu kurasakan dari ayahku.
“Mukhlis, laa tahzan yaa auladii4??” Ucapnya, sambil tersenyum beliau mengusap airmata yang mengalir di aliran sungai pipiku
“Ustadz ,, kenapa tak menghadiri acara pembagian raportku, aku juara umum ustadz, dan hanya ustadz yang belum mengucapkan selamat untukku” isak tangisku mulai mereda karena senyumannya
“Selamat anakku, sebelum kau mengucapkan itu Ustadz sudah tahu kau pasti yang menjadi juara umum, maka dari itu Ustadz ingin mengucapkan selamat kepadamu dengan memberikan hadiah” tutur kata lemah lembutnya membuat hati ini begitu bermekaran, bagai taman yang dipenuhi bunga rose dan mawar merah.
“Hadiah apa Ustadz ??” Sahutku agak sedikit kaget
“Ayo masuk nanti Ustadz tunjukkan hadiah itu” Ajak beliau

1 komentar: